Pengertian Maritim dan Budaya Maritim - Sebelum kita membahas tentang kerajaan-kerajaan Nusantara pada masa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha, kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengertian maritim dan budaya maritim Nusantara. Kata Maritim berasal dari bahasa Latin, maritimus/mare yang artinya 'laut'. Kata maritim merupakan serapan dari bahasa Inggris maritime yang dalam kamus bahasa Inggris Oxford Advanced Learner's for Dictionaries (2010) diartikan sebagai "connecting to sea or near the sea" yaitu yang menghubungkan laut atau dekat dengan laut.
Sejarah telah mencatat bahwa sejak masa praaksara masyarakat Nusantara telah memiliki kemampuan berlayar dengan menggunakan perahu bercadik. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan prasejarah berupa gambar sampan di dinding gua yang ada di Pulau Kei Kecil (Ohoidertawun) meskipun bentuknya tidak terlalu jelas. Ketika kemampuan berlayar telah mereka miliki, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat Ohoidertawun ini juga telah memahami masalah kemaritiman, seperti berikut ini.
- Memahami tentang arah angin dan musim
- Memiliki kemampuan navigasi
- Memahami pengetahuan tentang astronomi
- Memiliki kemampuan membuat kapal.
Pengetahuan tentang manfaat angin darat dan laut adalah pengetahuan dasar yang penting dalam berlayar. Masyarakat Praaksara dapat memanfaatkan dorongan angin darat jika akan berangkat melaut, dan memanfaatkan angin laut jika mereka ingin kembali ke darat pada sore atau malam harinya. Adapun pengetahuan tentang musim berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang cuaca, bahwa dì hari-hari atau waktu tertentu, mereka terpaksa tidak dapat melaut karena angin kencang dan gelombang yang tinggi. Kondisi alam Nusantara yang berada tepat di garis khatulistiwa mengenalkan mereka tentang angin musim. Mereka juga tahu bahwa dorongan tenaga angin masih sangat menentukan kegiatan pelayaran modern.
Meskipun tidak menggunakan teknologi masyarakat praaksara.juga telah memiliki kemampuan Navigasi yang dapat mengantarkan pelayaran mereka sampai ke tempat tujuan. Pengetahuan astronomi yang mereka miliki adalah dengan memahami rasi bintang, seperti bintang waluku (disebut demikian karena bentuknya seperti bajak) dikenal oleh masyarakat Jawa yang dapat menunjukkan arah barat.
Selain itu, ada rasi bintang salib selatan yang disebut dengan Qubug penceng oleh masyarakat Jawa yang menunjukkan arah selatan. Sangat disayangkan bahwa sumber sejarah tentang kemajuan teknik perkapalan masyarakat Nusantara hampir tidak pernah ada. Akibatnya, sangat sulit digambarkan atau direkonstruksi tentang sejarah perkapalan Nusantara yang dapat memperkuat pembuktian tentang kita sebagai bangsa bahari. Namun, lukisan praaksara di Pulau Kei dan juga relief yang terpahat di dinding Candi Borobudur yang menggambarkan bentuk kapal yang berbeda, yaitu relief perahu lesung, kapal besar bercadik, dan kapal besar tanpa cadik. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat kuno memang telah memiliki kemampuan membuat kapal.
Kronik dari Makassar dan Bugis sedikit memberi informasl dengan menyebut nama sebuah tempat yang menghasilkan kayu sebagai bahan dasar pembuat kapal, namanya Pegu terletak di Myamar Selatan, sebagai tempat penghasil kapal yang digunakan oleh para pelaut Bugis.
Pegu juga mengirimkan kapal-kapal ke Jawa dan Sumatra. Selain Pegu, galangan kapal ternyata juga terdapat di Jawa, yaitu di wilayah Tuban dan Jepara yang lokasinya berada di dekat hutan kayu jati di Rembang.pada sekitar abad ke XV, galangan yang berada di wilayah Tuban ini sudah demikian dikenal di kawasan Asia Tenggara. Hal ini jugalah yang membuat Albuquerque membawa serta beberapa arsitek kapal dari Jawa ini ketika meninggalkan selat Malaka tahun 1512.
Persentuhan budaya dengan berbagai kebudayaan dari berbagai penjuru dunia melalui kegiatan yang datang ini turut memberikan variasi terhadap bentuk perdagangan kapal dan perahu yang ada di Nusantara. Meskipun belum secara lengkap tentang jenis-jenis teridentifikasi perahu di Nusantara, tetapi hasil buday enis jenis kapal dan budaya masyarakat setempat telah memperkaya budaya bahari di perairan ini. Dari beberapa jenis ini, dikenal di beberapa daerah di wilayah Nusantara dengan nama yang berbeda seperti perahu belang atau dan pencalang (Palembang) yang digunakan orambai (Maluku), sebagai sarana untuk upacara kebesaran dan perayaan Selanjutnya, perahu cemplon (Jawa Tengah), keagamaan tadi-tadi (Mandar), londe (Sulawesi Utara), aroh talor (Nusa Tenggara) adalah perahu untuk menangkap ikan. Belungkang (Sumatra), cunia (Madura), tambangan (Banjarmasin) adalah besar untuk mengangkut barang, dan masih banyak kapal-kapal lagl yal yang membuktikan Nusantara adalah negara maritim.
Berdasarkan hasil identifikasi, dapat diketahui bahwa perahu atau kapal ketika itu mempunyai fungsi sebagai berikut.
- Sebagai alat penghubung antarpulau.
- Alat pengangkut barang
- Sebagai sarana menangkap ikan.
- Untuk kegiatan upacara kerajaan dan perayaan keagamaan
- Untuk berperang
- Untuk rekreasi.
Peran Selat Malaka dalam Jaringan Perdagangan Kerajaan Hindu-Buddha Nusantara - Pada perkembangannya, Selat Malaka menjadi penting karena merupakan gerbang utama yang menghubungkan pedagang-pedagang Tiongkok dan India yang berlayar melalui bandar-bandar penting di sekitar wilayah tersebut. Selat Malaka merupakan jalur laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara dan dengan Tiongkok di laut Nusantara Pusat-pusat integrasi Nusantara memang berlangsung melalui penguasaan laut sebelah timur didukung oleh dua hal yaitu (1) pertumbuhan jalur memiliki sepanjang perdagangan kontrol pantal yang dan yang baik (2) secara melewati kemampuan politik lokasi-lokasi maupun mengendalikan militer strategis atau dari di para penguasa tradisional (raja).
Semakin berkembangnya perdagangan tumbuhnya pelabuhan penting di sepanjang jalur tersebut seperti pelabuhan Malaka, kemudian Sriwijaya dan beberapa pelabuhan dì Sumatra Utara, kemudian di Jawa muncul dan Majapahit Kerajaan Mataram Kuno, Kahuripan, Singasari, Kehidupan penduduk di sepanjang selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh karena integrasi perdagangan internasional yang melalui jalur tersebut.
Dengan semakin terbukanya selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional maka jaringan perdagangan antarpulau pun semakin terbuka juga terutama yang dihubungkan oleh Laut Jawa yang meluas hingga kepulauan Maluku. Komoditas penting yang diperdagangkan ketika itu adalah rempah-rempah, seperti kayumanis, lada, cengkih dan pala.
Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau ini telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra seperti yang ditunjukkan oleh D. G. E. Hall yang bersumber dari kronik Tiongkok antara lain Kerajaan Sriwijaya, dan di Jawa berkembang kerajaan dengan kekuatan laut, seperti Mataram Kuno, Kahuripan, Singasari, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan ini berkembang menjadi kerajaan-kerajaan besar yang kemudian menjadi representasi dari pusat kekuasaan yang kuat yaitu memiliki kemampuan untuk dapat menguasai kerajaan-erajaan yang lainnya yang lebih kecil.
Pada perkembangannya, hubungan antara kerajaan pusat dan kerajaan vasal hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan Keuntungan yang diperoleh pusat kekuasaan antara lain berupa pengakuan simbolik, seperti kesetiaan dengan pembayaran upeti berupa barang-barang yang diperlukan untuk kepentingan kerajaan, atau barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional.
Sebaliknya, kerajaan-kerajaan vasal perlindungan yang dapat memberikan rasa aman dan sekaligus memperoleh kebanggaan atas adanya hubungan tersebut. Jika kemudian pusat kekuasaan sudah tidak lagi mempunyai kemampuan untuk melindungi dan mengontrol kerajaan-kerajaan kecil tersebut maka akan muncul ancaman disintegrasi berupa pemberontakan-pemberontakan. Mereka melepaskan ikatan politik dan akan beralih ke kerajaan lain yang dapat melindungi mereka.[ki]