Sinrilik Syekh Yusuf
Tuanta Salamaka - Syekh Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi
Selatan, 3 Juli 1626 – wafat di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada
umur 72 tahun) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir dari
pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan
oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf.
Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul
Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di
Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru
pada Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit.
Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan
Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten
ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak
menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh
Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada
Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada
Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Dalam
sejarah pentuturan orang Makassar, maka kisah Syekh Yusuf Tuanta Salamaka’ di
abadikan lewat tutur lisan yang yang dikenal dengan nama Sinrilik. Sinrilik
adalah semacam tutur sastra Makassar yang mengabadikan peristiwa yang dianggap
urgent.
Masyarakat Sulawesi Selatan dari kalangan etnis Bugis dan
Makassar, mengangungkan nama Syekh Yusuf. Syekh Yusuf adalah salah satu ulama
Islam yang suci. Nama ini dikenang dan ramai diziarahi makamnya yang terletak
di Lakiung yang dikenal dengan nama Kobbang. Penamaan Kobbang disebabkan model
makam berbentuk berkubah. Pengunjung menziarahi makam Syekh Yusuf bukan semata-mata
karena nilai historis, melainkan juga karena dikeramatkan. Pengunjung yang
datang, kebanyakan untuk bernazar bagi keberhasilan usahanya jika dibandingkan
dengan mereka yang datang ke tempat itu hanya karena memandang tempat itu
bernilai historis. Adanya rencana pengembalian dan pemujaan terhadap Syekh
Yusuf itu mendorong penulis untuk menelusuri latar sejarahnya. Dorongan itu
muncul karena diketahui bahwa Syekh Yusuf muncul sebagai ulama besar bukan
hanya di Makassar, tetapi juga di Banten dan Afrika Selatan. Ia dikenal sebagai
seorang penganjur agama Islam yang saleh dan ahli tasawuf, dan dalam kariernya
itu, justru ia tidak pernah datang ke Makassar. Dalam studi yang dilakukan ini
dijumpai beberapa keterangan sebelum munculnya pemujaan Syekh Yusuf di
Makassar, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Djalil ( ) raja Gowa ke-19.
Pada masa itu terjadi suatu kegiatan untuk mengembalikan Syekh Yusuf yang
berada di tempat pengasingannya (Sailon). Dengan alasan, bahwa beliau termasuk
keluarga raja-raja Gowa yaitu saudara tiri dari Karaeng Bisei dan Sultan Abdul
Djalil sendiri. Keterangan itu mendorong penulis berusaha untuk mengungkapkan
rencana pengembalian itu, sebab muncul pemikiran bahwa rencana itu merupakan
salah satu penyebab munculnya pemujaan Syekh Yusuf di Makassar pada khususnya
dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Rencana pengembalian Syekh Yusuf itu bermula
ketika pada 11 Mei 1689, raja Gowa Sultan Abdul Djalil, Daeng Talele
(permaisuri raja Bone, Arung Palakka), dan sejumlah besar bangsawan tinggi
Kerajaan Gowa berangkat menuju Fort Rotterdam (sekarang Benteng Ujung Pandang)
untuk menemui Ketua Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau VOC, Willem Hartsink
(Mukhlis dan Edward, 1985: 142). Mereka datang dengan membawa uang sejumlah
ringgit (rijksdaalder) atau gulden (mata uang Belanda). Kedatangan rombongan
raja Gowa tersebut untuk menghadap ketua VOC dengan maksud untuk menyampaikan
permohonan diperkenankan memulangkan kembali Syekh Yusuf yang telah diasingkan
oleh pemerintah Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) ke Sailon. Jumlah uang
ringgit tersebut dimaksudkan sebagai biaya program pengembalian Syekh Yusuf ke
Tanah Makassar. Dari jumlah tersebut, Daeng Talele sendiri menyumbang sebanyak
600 ringgit (Andaya, 2004 :347). Kehadiran dan permohonan dari Sultan Abdul
Djalil dan bangsawan tinggi Gowa itu disambut baik dan diterima oleh ketua
Willem Hartsink dan menjanjikan akan memperjuangkan pemulangan Syekh Yusuf,
tanpa memperhitungkan terdahulu dengan pejabat VOC yang ada di Batavia. Itulah
sebabnya ketika permohonan Sultan Abdul Djalil bersama bangsawan tinggi
Kerajaan Gowa diteruskan ke Batavia untuk mendapat persetujuan, akhirnya
ditolak. Penolakan itu terkait dengan status Syekh Yusuf yang dikenal sebagai
seorang ulama yang sangat gigih menentang VOC. Syekh Yusuf adalah salah seorang
yang turut membantu dan memihak kepada Sultan Ageng melawan Sultan Haji yang
didukung dan dibantu oleh VOC dalam perang perebutan tahta Kerajaan Banten.
Dalam peperangan itu, Syekh Yusuf dapat ditangkap dan ditawan oleh VOC yang
kemudian diasingkan ke Sailon. Ide pemulangan kembali ke Tanah Makassar,
ditolak. Akibatnya, Syekh Yusuf malah diasingkan lebih jauh lagi yaitu ke
Tanjung Harapan pada tahun Munculnya pengkultusan dan pemujaan terhadap Syekh
Yusuf, tentu tidak terlepas dari terjadinya usaha untuk mengembalikan ke tanah
kelahirannya. Ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa tokoh itu mulai
dikenang dan didambakan setelah ia diasingkan ke Sailon. Tokoh itu sendiri,
selain menjadi ulama Islam yang saleh dan bergiat menyebarkan ajaran agama
Islam, tidak pernah hidup di tanah kelahirannya sendiri, kecuali waktu kecil
dan belajar tentang pengetahuan dasar agama Islam. Faktor lain yang mendukung
pernyataan bahwa munculnya pemujaan Syekh Yusuf di Makassar berhubungan dengan
rencana pengembalian itu sendiri dan tersiarnya ceritacerita yang bercorak
mitos tentang tokoh itu setelah kegagalannya untuk dipulangkan ke tanah
kelahirannya, Makassar.
Karena itu, ciri mitos tentang seseorang tokoh di jawa
terkandung juga tentang mitos Syekh Yusuf di Makassar. Ceritacerita mitos itu
tidak dapat disangkal merupakan salah satu faktor yang ikut menunjang
terjadinya pengultusan dan pemujaan Syekh Yusuf di Tanah Makassar. Alasan penolakan
permohonan pengembalian tersebut, karena pemerintah VOC di Batavia menduga
adanya niat untuk menghidupkan kembali semangat menentang VOC di Makassar.
Anggapan itu tidak dapat disangkal kebenarannya. Oleh karena itu objek studi
ini, penulis beri judul Syekh Yusuf Tuanta Salamaka; Studi tentang Awal
Pemujaannya di Tanah Makassar, Sulawesi Selatan. Permasalahan pokok yang ingin
ditelusuri dalam studi ini adalah faktor penyebab rencana pengembalian itu dan
kegagalannya merupakan salah satu penyebab munculnya pemujaan di Butta Gowa,
Sulawesi Selatan. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk memberikan
gambaran dan penjelasan tentang adanya pemujaan Syekh Yusuf di Sulawesi
Selatan. Melihat judul studi ini, nyata bahwa kajiannya berorientasi pada masalah
sejarah sehingga metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dalam
pengisahannya tentu tidak dapat dilakukan dan dikerjakan tanpa adanya sumber
yang dapat memberikan data dan keterangan menyangkut masa lampau itu. Dalam
hubungan ini, pengumpulan sumber-sumber tertulis atau sumber primer, dan
sumber-sumber sekunder akan mendapat perhatian. Usaha untuk mendapatkan
sumber-sumber primer berupa bahan arsip yang berhubungan dengan objek studi
ini, ternyata kurang memuaskan, terutama untuk periode VOC di Sulawesi Selatan.
Data dan keterangan tertulis yang banyak ditemukan adalah sumber-sumber
sekunder dari keterangan-keterangan ringkas yang pernah diterbitkan dalam
berbagai bentuk, juga dalam buku yang merupakan kumpulan karangan dan buku-buku
terbitan lainnya. Data dan keterangan yang berhasil dikumpulkan, kemudian diuji
keabsahannya untuk menentukan validitasnya melalui suatu kritik. Dalam hubungan
dengan kritik sumber, tentu lebih tertuju pada kritik intern mengingat sumber
yang banyak diperoleh dan dipergunakan adalah sumber sekunder. Kritik yang
dilakukan itu menyangkut isi sumber yang berhubungan dengan keterangan yang
dikemukakan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa keterangan yang dikemukakan
dalam sumber tersebut tidak tertutup kemungkinan mengandung arti yang subjektif
yang dikemukakan oleh penuturnya. Untuk pelaksanaan kritik itu, pengukurannya
dilakukan dengan cara mempertimbangkan dapat tidaknya keterangan itu diterima
akal dalam keterangan itu dan merupakan gambaran kultural masyarakat. Data dan
keterangan yang lolos uji, selanjutnya digunakan untuk melakukan sintesis dalam
bentuk penulisan. Perlu dijelaskan bahwa sebagian data dan keterangan yang
digunakan dalam studi ini tidak melalui kritik sebab data bandingan untuk
menguji kebenarannya tidak ada, sehingga dipergunakan begitu saja, sepanjang
sesuai kronologinya. Dalam studi ini, sesuai dengan pokok permasalahan yang
ingin diungkapkan dan dijelaskan seperti yang telah dikemukakan terdahulu,
digunakan pendekatan faktor. Hal itu dimaksudkan agar dapat memberikan
penjelasan sekitar kondisi yang melatarinya. Dengan demikian suatu penyajian
dalam bentuk deskriptif analitis tentang Syekh Yusuf Tuanta Salamaka; Studi
tentang Awal Pemujaannya di Tanah Makassar, Sulawesi Selatan. PEMBAHASAN Syekh
Yusuf dan Pengasingannya Siapa sesungguhnya Syekh Yusuf, atau yang lebih
dikenal dengan nama Tuanta Salamaka (Tuan kita yang selamat dan diberkati),
nama yang lazim dikenal di Sulawesi Selatan, tidak terdapat keterangan yang
jelas. Menurut H.D. Mangemba (2002: 98), syekh Yusuf itu sebenarnya adalah
putra dari Sultan Alauddin dari isterinya, putri gallarang Moncongloe. Tetapi,
isterinya itu diceraikannya, dan anak yang lahir dari perkawinan itu diambil
dan diasuh dalam istana. Permaisurinya sendiri tidak tahu akan hal itu sebab
perkawinan itu sangat dirahasiakan. Jika hal itu memang benar, maka Syekh Yusuf
telah mengawini saudaranya sendiri, yaitu Syarifah. Oleh sebab itu,
pengungkapan riwayat hidup ini diawali dengan berbagai pendapat tentang diri
Syekh Yusuf yang pasti dan jelas bahwa ia adalah seorang putra kelahiran Tanah
Makassar. Dalam buku harian raja-raja Gowa dan Tallo, dinyatakan bahwa ia
dilahirkan pada tahun Keterangan tentang beliau ditulis pada urutan waktu 8
Syawal 1036 Hijriah. Isi keterangan itu: Nabatu ri Butung Karaenga, nasumengka
ri Dima, nanabeta Dima, Dompu, Sumbawa, Kengkelu, Tauwiya Mannikka, iya anne
bedeng taungnga nakaanakkang I Tuan Syekh Yusuf. Artinya: Raja (Sultan
Alauddin) tiba di Buton, lalu mendarat di Bima, kemudian menaklukkan Dompu,
Sumbawa Kengkelu (Tambora). Pada tahun ini, konon Syekh Yusuf dilahirkan.
Pernyataan ini dinyatakan dalam satuan waktu 8 Syawal 1036 Hijriah, atau
bertepatan 3 Juli Orang-orang Makassar meyakini bahwa Syekh Yusuf lahir pada
tahun 1626 di Kampung Parang Loe, Tallo. Ibundanya adalah seorang putri
Gallarang Moncong Loe yang diperisterikan oleh seorang lelaki yang tidak
diketahui namanya, maupun asal usulnya. Lelaki itu adalah seorang suci dan
sakti. Orang Makassar menganggap lelaki itu adalah penjelmaan nabi Khidir.
(Mattulada, 1982: ) Menurut Sultan Abdul Djalil, Syekh Yusuf termasuk keluarga
raja-raja Gowa, saudara tiri dari Karaeng Bisei Sultan Muhammad Ali (raja Gowa
ke-18) dan Sultan Abdul Djalil sendiri (Mukhlis dan Edward, 1985: 150). Semasa
kecilnya, ia dipelihara oleh Sultan Alauddin dalam istana. Selama berada di
dalam istana, Syekh Yusuf selalu menemani putri Sultan Alauddin yang bernama
Siti Daeng Nisanga. Ia Belajar mengaji, dan pengetahuan agama Islam pada
seorang guru yang bernama Datok ri Paggentungan. Di samping itu, keduanya juga
diasuh oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa. Sewaktu beliau menginjak usia dewasa,
Siti Daeng Nisanga menyampaikan isi hatinya kepada Syekh Yusuf agar sudi
mempersuntingnya. Mendengar hal itu, Syekh Yusuf menolaknya secara halus sebab
kedudukannya tidak setara. Penolakan Syekh Yusuf tersebut membuat Siti Daeng
Nisanga marah lalu berkata: Jika kamu tidak bersedia mengawini saya, maka
engkau akan ku jadikan kuda tunggangan di hari kiamat (Massiara, 1983: 1-3).
Mendengar ucapan Siti Daeng Nisanga tersebut, Syekh Yusuf bingung. Beliau
menyampaikan hal itu kepada Gallarang Mangasa dan Tombolo dan memohon kepada
beliau untuk pergi melamarkan putri raja tersebut. Kedua gallarang ini
sebenarnya menyadari bahwa mustahil pinangan itu diterima sebab derajat
kebangsawanan Syekh Yusuf rendah. Namun demikian keduanya tetap pergi ke istana
untuk melamar sesuai dengan amanah Syekh Yusuf. Benar kiranya, bahwa setelah
raja Gowa mendengar pinangan tersebut, raja Gowa menolaknya dan berkata: Yang
namanya hamba (budak) maka ia tetap hamba sahaya, yang namanya Karaeng
(bangsawan) maka ia tetap karaeng (Amansyah, Makkarausu, 1975: 5) Setelah
pinangannya ditolak, maka Syekh Yusuf menyatakan: Bahwa kalau begitu, pinangan
saya ditolak, maka bukan lagi kesalahan saya dan bebanku sudah lepas. Setelah
itu, Syekh Yusuf berkata pula kepada kedua gallarang tersebut: menjadi saksilah
Daengta berdua bahwa kuharamkan menginjak kembali Tanah Gowa sebelum aku jadi
Sufi (Massiara, 1983: 14). Berselang beberapa lama setelah pinangan ditolak,
maka raja Gowa berubah pikiran dan berulangkali mengundang Syekh Yusuf untuk
datang ke istana untuk dikawinkan dengan Siti Daeng Nisanga. Namun Syekh Yusuf
tidak pernah mau datang ke istana mengingat sumpah yang telah diucapkannya.
Oleh sebab itu, raja Gowa sendiri mengirimkan anaknya ke Jumpandang dan di
sanalah perkawinan itu dilaksanakan. Sekitar enam bulan hidup bersama dengan
isterinya, Syekh Yusuf lalu mengantar isterinya kembali ke istana Gowa dan
beliau hanya sampai di perbatasan. Setelah itu, Syekh Yusuf pun bersiap-siap
untuk berangkat ke Tanah Suci pada tanggal 22 September Inilah perjalan pertama
beliau keluar negeri. Setelah kembali dari Tanah Suci menunaikan ibadah haji
dan belajar agama, maka beliaupun lalu menetap di Banten (Cense, 1996: 237).
Ketika tinggal di Banten, Syekh Yusuf menikah dengan putri istana yang bernama
Syarifah dan kedudukannya menjadi tinggi di mata masyarakat.pada pertengahan
abad ke-17, banyak orang Makassar dan Bugis tinggal di Pulau Jawa yang kemudian
menggabungkan diri dengan beliau untuk menjadi pengikutnya. Waktu terjadi
perang perebutan tahta Kerajaan Banten antara Sultan Agung dan anaknya yang
bernama Sultan haji, Yusuf menentukan pilihannya. Ia bersama pengikutnya
memilih bergabung dengan Sultan Agung, hingga mereka harus menghadapi Kompeni
yang memihak Sultan Haji. Hal ini mengakibatkan diadakannya pengejaran yang
penuh mara bahaya terhadap Syekh Yusuf, hingga beliau ditangkap pada bulan
Desember 1683 dan dibuang ke Sailon. Dari sini ia dipindahkan ke Tanjung
Harapan pada tahun 1693 atau sepuluh tahun setelah tertangkapnya.
Di daerah inipun, beliau kemudian menjadi pusat kehidupan
kaum muslimin, yang makin lama semakin kuat. Sampai sekarang namanya masih
selalu disebut dengan penuh rasa hormat oleh kaum muslimin di Afrika Selatan.
Di daerah inilah beliau kemudian mengakhiri karyanya dan wafat pada tanggal 23
Mei 1699, dan telah didirikan bangunan peringatan di makamnya. Beliau
dimakamkan di daerah pertanian Zandvliet, di Distrik Stellenbosch. Bangunan
makam peringatan ini kemudian diperindah dengan biaya yang sangat besar.
Potrernya dibuat dengan menggunankan logam bergambar (Tudjimah. 2005: 6-7).
Gagasan Pengambilan Syekh Yusuf ke Tanah Makassar Terjadinya perpecahan di
kalangan bangsawan Kerajaan Gowa pasca dicapainya perjanjian Bongaya untuk
mengakhiri perang Makassar 1667, mengakibatkan golongan bangsawan anak karaeng
ri Gowa merasa lemah kedudukannya. Kelemahan itu terutama karena kehilangan
supremasi kekuasaan di Sulawesi Selatan serta kehilangan daerah-daerah yang
merupakan sumber ekonomi kerajaan. Selain itu, lapisan anak karaeng ri Gowa
juga kehilangan lapangan kegiatan ekonomi, politik yang ikut menentukan
kedudukan sosial mereka. Kelompok lapisan anak karaeng ri Gowa menuduh
bangsawan Dewan Bate Salapang sebagai penyebab terjadinya perjanjian Bongaya
tersebut yang sangat merugikan Kerajaan Gowa. Sementara itu, pihak Dewan Bate
Salapang menilai bahwa perjanjian Bongaya harus segera dilaksanakan mengingat
bahwa sudah terlalu besar jumlah pasukan Kerajaan Gowa yang gugur dan binasa
dalam Perang Makassar tersebut. Untuk mengakhiri perpecahan tersebut, mendorong
pihak-pihak tertentu dalam kerajaan berusaha mempersatukan kembali demi
menjamin ketertiban dan ketentraman. Usaha itu dicetuskan pada masa
pemerintahan raja Gowa Sultan Abdul Djalil lewat usaha perkawinan lintas
politik antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Anak dari hasil perkawinan itu
nantinya direncanakan untuk diangkat menjadi raja di Gowa. Namun ketika rencana
tersebut belum dilaksanakan, muncul ide lain, yaitu untuk mengembalikan seorang
ulama besar dan terkenal yang berasal dari Tanah Makassar yang diasingkan oleh
Belanda ke Sailon karena memihak pada Sultan Agung (Sultan Banten) dalam perang
melawan Sultan Haji yang dibantu oleh VOC- Belanda. Gagasan pengembalian ini
nampaknya sangat unik sebab ulama itu tidak bergiat di Sulawesi Selatan dan
seorang penentang ulung VOC, namun pihak Kerajaan Gowa mengajukan suatu
permohonan untuk mengembalikan beliau ke Tanah Makassar. Rencana untuk
mengembalikan Syekh Yusuf ke tanah Makassar sudah dirancang dengan matang yang
dibuktikan dengan terkumpulnya sejumlah uang yang diharapkan akan dipergunakan
sebagai biaya pemulangan tokoh tersebut dari pengasingannya. Sejumlah uang
ringgit (rijksdaalder) (Andaya, 2004: 346), kemudian diantar ke Fort Rotterdam
untuk diberikan kepada Ketua VOC Willem Hartsink. Kehadiran Raja Gowa Sultan
Abdul Djalil bersama bangsawan tinggi Kerajaan Gowa disambut baik oleh Hartsink
dan beliau berjanji akan memperjuangkan permohonan tersebut ke Pemerintah VOC
di Batavia. Kesanggupan ketua VOC tersebut tanpa mempertimbangkan siapa tokoh
yang akan dikembalikan itu. Sementara itu, rombongan raja Gowa dan bangsawan
tinggi kerajaan sangat gembira atas persetujuan ketua VOC tersebut. Menurut
Willem Hartsink, kini saatnya untuk menjalin hubungan baik dengan pihak
Kerajaan Gowa yang selama ini berada pada posisi yang kurang menguntungkan
akibat karena terlalu banyak hak prerogatif yang diberikan oleh VOC kepada
Arung Palakka. Sebaliknya Hartsink bertindak tegas terhadap kebebasan dari
Arung Palakka sehubungan dengan prerogatifnya. Oleh sebab itu, Hartsink
secepatnya mengajukan permohonan untuk pengembalian itu ke Batavia. Namun
ketika penyampaian permohonan pengembalian itu diterima oleh pejabat VOC di
Batavia, mereka `menjadi marah dan mengecam Hartsink yang telah menerima dan
mengabulkan permohonan itu. Pihak pejabat VOC di Batavia menolak memenuhinya
sebab curiga ada maksud politik di balik permohonan untuk mengembalikan Syekh
Yusuf ke tanah kelahirannya, Makassar. Pejabat VOC menduga bahwa rencana itu
tak lain adalah untuk menjadikan tokoh tersebut sebagai pemersatu kekuatan
untuk menentang dan membinasakan kekuasaan VOC di Makassar (Andaya: 2004).
Penolakan pejabat VOC di Batavia, ditantang balik oleh Hartsink dan membalas
pernyataan penolakan itu dan menyatakan bahwa keadaan di Makassar sangat rawan
terjadinya konflik, karena itu jika pemerintah VOC di Batavia menolak
permohonan itu pasti akan terjadi huru hara dimana-mana. Lebih tegas lagi
dikatakan oleh Hartsink bahwa jika permohonan itu ditolak, maka wakil-wakil
Kerajaan Gowa yang mengajukan permohonan itu akan ditahan di benteng fort Rotterdam
hingga bantuan datang dari Batavia, bantuan yang diharapkan di Makassar tidak
ada sebab rakyat secara umum yang sangat menjunjung tinggi dan mencintai Syekh
Yusuf. Akibat pembangkangan yang dilakukan, ketua VOC di Makassardiberhentikan
lalu ditarik ke Batavia. Sebagai penggantinya, diangkat Francois Frins ( ).
Setelah Hartrsink diganti oleh Francois, pemerintah VOC-Belanda di Batavia
mengirim Dirk de Hans sebagai utusannya ke Makassar untuk menyelidiki alasan
pengembalian itu. Ketika de Hans menanyakan alasan pengembalian itu kepada
Sultan Abdul Djalil, beliau menjawab bahwa alasan utamanya adalah karena Syekh
Yusuf termasuk keluarga raja-raja Gowa, saudara tiri dari Karaeng Bisei Sultan
Muhammad Ali raja Gowa ke-18, dan juga tentunya saudara tiri Sultan Abdul
Djalil sendiri. Tetapi alasan itu tidak benar seperti yang nampak dalam usaha
dari Cense untuk mencari kebenaran hubungan keluarga antara Syekh Yusuf dan dua
orang raja Gowa itu. Menurut Andaya (2004: ), hal itu memang sesungguhnya tidak
perlu dibuktikan bila kita memperhatikan jangka waktu antara kehadiran
pengikut-pengikut Syekh Yusuf yang dipulangkan ke Makassar tahun 1684 dan yang
menyebarkan berita tentang keharuman nama dari Syekh Yusuf dengan munculnya
permohonan pengembalian dari delegasi Kerajaan Gowa yang baru terjadi 5 tahun
kemudian, yaitu pada 11 Maret 1689, atau setelah 6 tahun Syekh Yusuf diasingkan
ke Sailon. Jangka waktu itu dapat menunjukkan kepada kita bahwa Syekh Yusuf
bukanlah keluarga raja-raja Gowa. Sebab bila terdapat hubungan maka dengan
sendirinya ketika pengikut-pengikut Syekh Yusuf itu berada di Makassar mereka
akan segera melaporkan kepada keluarganya tentang perihal Syekh Yusuf. Hubungan
keluarga yang dimaksud itu, sebenarnya memang sangat sulit untuk dibuktikan
kebenarannya kalau kita melihat ketetapan Sultan Abdul Djalil menyangkut hak
keluarga Syekh Yusuf. Itu jelas menunjukkan bahwa tokoh itu dan keluarganya
hanya diterima sebagai bagian keluarga raja-raja Gowa. Jika ia adalah keluarga
bangsawan Gowa, maka secara otomatis hak-hak istimewanya telah dijamin menurut
aturan sosial yang berlaku yang ditentukan berdasar derajat dan kebangsawanannya.
Bahkan jika diperhatikan ketentuan-ketentuan hak istimewa yang diberikan kepada
keluarga Syekh Yusuf itu, jelas bahwa hak-hak istimewa itu umumnya berlaku bagi
lapisan bangsawan anak karaeng ri Gowa. Dalam ketentuan itu, Sultan Abdul
Djalil menyatakan: bahwa suatukaraeng pasti akan tertimpa kutukan apabila
karaeng itu suatu saat sampai berani kiranya menyebut salah satu dari keturunan
Syekh Yusuf sebagai budak belian, sekalipun umpamanya orang itu lahir dari
perkawinan dengan seorang wanita budak belian. Keturunan-keturunan Syekh Yusuf
boleh bertempat tinggal di manapun, dan akan mendapat kebebasan dari bea dan
pajak, dan lainlain iuran serta kerja rodi (Cense, 1996: 177). Sikap penyesalan
yang dinampakkan oleh pihak Kerajaan Gowa atas penolakan untuk mengembalikan
Syekh Yusuf ke tanah kelahirannya, disikapi pula pejabat VOC di Batavia dengan
mengembalikan beberapa daerah yang telah direbut oleh VOC kepada Kerajaan Gowa
atas persetujuan dari Francois Prins dan Dirk de Haan. Selain itu, mereka juga
bersedia memenuhi beberapa permintaan dari Sultan Abdul Djalil untuk
mengembalikan beberapa daerah bekas kekuasaan Kerajaan Gowa (Patunru, 1969:
72). Dan sebagian lagi dari tuntutan Sultan Abdul Djalil tidak dipenuhi oleh
ketua VOC di Makassar, sebab hal itu memerlukan pertimbangan lain dari pejabat
VOC di Batavia. Awal Pemujaan Syekh Yusuf di Tanah Makassar Syekh Yusuf,
seorang ulama yang termasyhur di Kerajaan Banten, yang kemudian diasingkan ke
Sailon dan selanjutnya ke Afrika Selatan, ternyata menjadi pujaan penduduk
masyarakat setempat. Bahkan hingga sekarang, kuburannya masih ramai dikunjungi
oleh orang-orang Makassar dan Bugis, baik untuk bernazar maupun untuk melakukan
upacara syukuran atas keberhasilan yang dicapai sehubungan dengan nazarnya.
Munculnya pemujaan itu, tidak terlepas dari usaha pengembalian Syekh Yusuf itu.
Tokoh itu, semenjak itu, mulai dikenang dan didambakan di tanah kelahirannya
sendiri setelah ia diasingkan ke Sailon.
Tokoh itu sendiri, setelah menjadi ulama Islam yang saleh
dan bergiat menyebarkan ajaran agama Islam tidak pernah kembali ke tanah
kelahirannya sendiri, munculnya ide untuk mengembalikan Syekh Yusuf ke tanah
kelahirannya, bermula dari tersiarnya keharuman nama Syekh Yusuf oleh para
pengikut-pengikut Syekh Yusuf yang berasal dari Makassar yang ikut tertangkap
pada waktu pasukan VOC mengejar dan menawan Syekh Yusuf. Pengikut-pengikut itu
pada mulanya dipenjarakan di Batavia, akan tetapi setahun setelah Syekh Yusuf
diasingkan ke Sailon, mereka lalu dipulangkan ke negeri asalnya yaitu Tanah
Makassar. Pengikut-pengikut itu tiba di Makassar tanggal 22 Maret 1684
(Mangemba, 1981: 69). Karena kekagumannya terhadap Syekh Yusuf, mereka terus
memberitakan perihal Syekh Yusuf, seorang ulama suci dan sakti yang memiliki
pengaruh yang luas karena menentang VOC dengan sangat gigih yang mengakibatkan
beliau kemudian diasingkan ke Sailon. Dalam pemberitaanpemberitaan itulah
muncul kemudian berbagai mitos menyangkut diri beliau yang secara tidak
langsung mengesahkan kedudukannya sebagai seorang tokoh suci, sakti dan penuh
kharismatik yang perlu dipuja dan dihormati. Faktor lain yang mendukung
munculnya pemujaan Syekh Yusuf di Makassar, berhubungan dengan usaha untuk
pengembalian itu sendiri, adalah juga karena tersiarnya cerita-cerita mitos
tentang tokoh itu setelah kegagalan untuk mengembalikan ke tanah kelahirannya.
Beberapa cerita tentang tokoh itu memiliki corak mitos yang sama seperti yang
berkembang di Jawa. Hal itu menunjukkan bahwa munculnya cerita itu kemungkinan
besar berasal dari pengikut-pengikutnya yang dikembalikan ke Makassar. Sebagai
contoh cerita tentang ayah dari Syekh Yusuf dan kelahirannya. Di kalangan
rakyat, berkembang cerita bahwa Syekh Yusuf lahir dari seorang putri cantik
dengan seorang lelaki tua yang muncul dari seberkas sinar yang terang benderang
di suatu tempat. Siapa yang melihat sang ayah itu pasti pingsan. Putri cantik
itu berasal dari Parang Loe. Cerita tentang ayah Syekh Yusuf yang muncul dari
seberkas sinar itu akhirnya menumbuhkan anggapan bahwa ia adalah penjelmaan
Nabi Khidir. Menurut Mattulada, Cerita itu mirip dengan riwayat tentang
kelahiran Ken Arok yang berkembang di Jawa. Dikisahkan bahwa Ken Arok lahir
akibat hasil hubungan antara seorang wanita cantik dengan seorang lelaki tua.
Lelaki itu dinyatakan adalah sebagai seorang Brahma yang turun ke dunia, akan
tetapi karena hari telah gelap, maka ia singgah dan malam di rumah wanita itu
yang kemudian membuahkan Ken Arok (1981: ). Juga diceritakan bahwa sewaktu
Syekh Yusuf masih di dalam kandungan, ketika ibunya tidur, badannya melayang
sehingga tidak berada di atas kasur. Selain itu, sinar terang keluar dari
pusarnya, seperti ada lentera kaca yang menyinari kelambu besar dan
langit-langit di istana raja.dari dalam perut perempuan itu Terdengar zikir
jelas dengan ucapan Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Demikian
keadaannya setiap malam, sehingga raja takut mendekatinya. Akhirnya ia di antar
ke Tallo, dan dari sana diantar ke Parang Loe, di sanalah beliau kemudian
melahirkan Syekh Yusuf setelah cukup bulannya. Setelah raja mendengar
kelahirannya, maka raja memanggilnya datang ke istana, nanti di istana baru
dipotong tali pusarnya (Massiara, 1983: 12). Selain faktor tersebut di atas,
masih terdapat banyak cerita mitos yang melingkupi hidup beliau. Cerita-cerita
rakyat turun temurun di Makassar mengungkapkan hubungan keluarga raja-raja di
Gowa. Tetapi yang pasti bahwa Raja Gowa Sultan Abdul Djalil dengan penuh
semangat menghormati Syekh Yusuf sebagai orang suci. Bahkan setelah Syekh Yusuf
meninggal, berkali-kali raja melihat dalam mimpinya, dan suatu ketika orang
suci tersebut menganjurkan supaya raja melakukan sembahyang. Pada lain waktu,
raja Abdul Djalil bersama raja Bone mengunjungi Syekh Yusuf di tempat dahulu
disembunyikan oleh Belanda. Dan pada kesempatan lain tampak orang-orang Belanda
datang menyerang dengan tikar tergulung, lalu keluarlah seorang suci dari tikar
itu. Lalu kemudian tikar itu disembunyikan oleh raja di dalam kelambunya, sebab
ia khawatir kalau hal itu diketahui oleh orang lain (Abdullah, 1978: 176).
Tidak dapat disangkal bahwa cerita-cerita yang bercorak mitos itu mempunyai
arti penting untuk mengabsahkan kedudukan dan keunggulan Syekh Yusuf, sehingga
penduduk percaya bahwa ia adalah orang suci dan sakti karena itu patut
dihormati dan dipuja sepanjang masa. Akibatnya, kuburan beliau dikeramatkan dan
dipuja. Banyak orang datang untuk bernazar serta melakukan upacara pengucapan
syukur bila terpenuhi nazarnya. Oleh sebab itu, terdapat beberapa poin penting
tentang munculnya penghormatan dan pemujaan terhadap Syekh Yusuf, Pertama,
karena tersiarnya nama harum dari Syekh Yusuf oleh pengikutnya pada waktu
mereka dipulangkan oleh Belanda ke Sulawesi Sselatan (Gowa) tahun Kedua, karena
besarnya perhatian para keluarga raja Gowa terhadap Syekh Yusufpada tahun 1690
diadakan pemberitahuan oleh utusan-utusan Makassar bahwa Syekh Yusuf adalah
turunan gallarang, dan masih saudara raja Gowa Karaeng Bisei Sultan Muhammad
Ali raja Gowa ke-18 ( ), dan raja Abdul Djalil ( ). Ketiga, cerita-cerita yang
bercorak mitos itu dipercaya dan diterima serta diakui kebenarannya. Hal itu
meyakinkan orang bahwa Syekh Yusuf adalah seorang tokoh suci lagi sakti,
sehingga patut dipuja (Cense, 1979: 244). Selain faktor tersebut di atas, masih
terdapat banyak cerita mitos yang melingkupi hidup beliau. Cerita-cerita rakyat
turun temurun di Makassar mengungkapkan hubungan keluarga raja-raja di Gowa.
Tetapi yang pasti bahwa Raja Gowa Sultan Abdul Djalil dengan penuh semangat
menghormati Syekh Yusuf sebagai orang suci. Bahkan setelah Syekh Yusuf
meninggal, berkali-kali raja melihat dalam mimpinya, dan suatu ketika orang
suci tersebut menganjurkan supaya raja melakukan sembahyang. Pada lain waktu,
raja Abdul Djalil bersama raja Bone mengunjungi Syekh Yusuf di tempat dahulu
disembunyikan oleh Belanda. Dan pada kesempatan lain tampak orang-orang Belanda
datang menyerang dengan tikar tergulung, lalu keluarlah seorang suci dari tikar
itu. Lalu kemudian tikar itu disembunyikan oleh raja di dalam kelambunya, sebab
ia khawatir kalau hal itu diketahui oleh orang lain (Abdullah, 1978: 176).
Tidak dapat disangkal bahwa cerita-cerita yang bercorak mitos itu mempunyai
arti penting untuk mengabsahkan kedudukan dan keunggulan Syekh Yusuf, sehingga
penduduk percaya bahwa ia adalah orang suci dan sakti karena itu patut
dihormati dan dipuja sepanjang masa. Akibatnya, kuburan beliau dikeramatkan dan
dipuja. Banyak orang datang untuk bernazar serta melakukan upacara pengucapan
syukur bila terpenuhi nazarnya. Oleh sebab itu, terdapat beberapa poin penting
tentang munculnya penghormatan dan pemujaan terhadap Syekh Yusuf, Pertama,
karena tersiarnya nama harum dari Syekh Yusuf oleh pengikutnya pada waktu
mereka dipulangkan oleh Belanda ke Sulawesi Selatan (Gowa) tahun Kedua, karena
besarnya perhatian para keluarga raja Gowa terhadap Syekh Yusufpada tahun 1690
diadakan pemberitahuan oleh utusan-utusan Makassar bahwa Syekh Yusuf adalah
turunan gallarang, dan masih saudara raja Gowa Karaeng Bisei Sultan Muhammad
Ali raja Gowa ke-18 ( ), dan raja Abdul Djalil ( ). Ketiga, cerita-cerita yang
bercorak mitos itu dipercaya dan diterima serta diakui kebenarannya. Hal itu
meyakinkan orang bahwa Syekh Yusuf adalah seorang tokoh suci lagi sakti,
sehingga patut dipuja (Cense, 1979: 244). Selain itu, apabila mau dicari asal
usul pemujaan terhadap Syekh Yusuf di Sulawesi Selatan, boleh jadi terutama di
lingkungan orang-orang yang merasa tertarik akan renungan-renungan yang
diajarkan oleh beliau semasa hidupnya. Renungan mistik itulah yang menarik para
pemujanya yang ada sekarang, hal ini pula yang menyebabkan beliau dikenal di
mana-mana. Raja Bone Ahmad Al Salih Matinroe ri Rompegading yang memerintah
antara yang telah mencurahkan perhatiannya terhadap ajaran-ajaran Syekh Yusuf,
sehingga dapat dikatakan bahwa pemuja Syekh Yusuf yang terbesar dan terbanyak
terdapat di daerah Bone. Kebesaran dan keharuman namanya sebagai seorang ulama
yang besar dan suci, juga sebagai ahli tasawuf dan mengajarkan kepada ummat
manusia tentang jalan kebenaran. Seperti tulisan raja Bone yang berjudul Tajang
Pattiroangnge Llao ri Laleng MalempuE, artinya cahaya yang membimbing ke arah
jalan yang benar. Tulisan ini diselesaikan oleh raja Bone pada tanggal 21 Mei
1788 atau tanggal 15 Sya ban 1202, dibagi dalam tujuh bab; sebagian besar
diambil dari tulisan Tuan kita Syaikh Al hajj Yusuf Al taj Al Khalwaty. Seperti
di Kampung Antang dan Tetebatu, terdapat pemuja-pemuja Tuanta yang jumlahnya
relatif kecil jika dibanding di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jika
diperhatikan, umumnya para pemujapemuja itu, memiliki angan-angan keagamaan
yang masih kolot. Cara pemujaan merekapun masih terdapat unsur-unsur
penghormatan Gunung Bawakaraeng, yaitu menurut cara penduduk dahulu kala. Syekh
Yusuf dianggap oleh mereka sebagai orang suci nasional. Berkat naik hajinya ke
Mekkah, dapat membebaskan orang-orang Gowa untuk maksud tersebut. Juga dalam
hal sembahyang dan puasa, mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang
dari yang biasanya. Pemujaan terhadap Syekh Yusuf di kalangan penganutnya
terdapat beberapa paham, seperti yang disebut di atas. Mereka sebenarnya sudah
menyimpang dari jalan yang sebenarnya yang ditentukan oleh ajaran beliau
sewaktu masih hidup. Menurut Abdullah (1978: 66), lebih jauh lagi mereka
beranggapan bahwa Gowa sama derajatnya dengan Mekkah dan Medinah. Apa-apa yang
terdapat di tanah Suci itu, terdapat juga di Gowa, malahan kepercayaan mereka itu mendahului apa-apa yang terdapat di
dalam ajaran agama Islam. Contohnya; tentang air zam-zam itu ditimba dari Sumur
Bungung Barania di istana raja Gowa, Kale Gowa, pada tanggal 9 Zulhijjah atau
sehari sebelum orang di tanah Suci Mekkah menimba air zam-zam. Juga dalam hal
berpuasa, mereka lebih dahulu sehari dari ketentuan agama Islam. Baitullah bagi
mereka adalah puncak Gunung Bawakaraeng, sebab itu dalam bershalat mereka
menghadap Gunung Bawakaraeng. Bagi mereka yang pernah berziarah ke puncak
Gunung Bawakaraeng, sama dengan mereka yang pernah ke tanah suci Mekkah untuk
ibadah haji. PENUTUP Penolakan terhadap rencana pengembalian Syekh Yusuf ke
tanah kelahirannya di Makassar, mengakibatkan munculnya pemujaan terhadap Syekh
Yusuf di Sulawesi Selatan. Pengultusan itu erat berkaitan dengan usaha untuk
menutup kerahasiaan rencana gerakan yang dikaitkan dengan alasan permohonan
pengembalian karena tokoh itu merupakan anggota keluarga raja-raja Gowa.
Pengultusan dilakukan dengan memberikan pengabsahan riwayat-riwayat yang
bercorak mitos yang berakibat terjadinya pemujaan terhadap tokoh itu. Pemujaan
itu, hingga kini terus berlanjut.
Hal tersebut di atas, sangat erat berkaitan dengan
pernyataan-pernyataan yang begitu besar dilakukan pihak-pihak golongan
bangsawan Kerajaan Gowa, termasuk raja Gowa sendiri yang tidak putus-putusnya
berusaha untuk mengembalikan Syekh Yusuf ke Tanah Makassar untuk dijadikan
sebagai pemersatu di Butta Gowa yang ketika itu sedang mengalami kemerosotan
akibat isi dari perjanjian Bongaya Perjanjian mana secara terang-terang
mencabut semua hakhak yang dimiliki Kerajaan Gowa selama ini. Sebaliknya,
Kerajaan Bone di bawah kendali Arung Palakka mendapatkan hak istimewa dari VOC-
Belanda atas jasanya telah membantu Belanda menjatuhkan Kerajaan Gowa. Selain
hal tersebut, juga karena pernyataanpernyataan yang disampaikan oleh para
pengikut Syekh Yusuf yang dikembalikan ke Makassar setelah ikut tertangkap
bersama Syekh Yusuf. Pengikut-pengikutnya pada mulanya dipenjarakan dan ditawan
di Batavia. Akan tetapi setahun pasca pengasingan Syekh Yusuf ke Sailon, mereka
dipulangkan ke negeri asalnya, yaitu Makassar. Mereka inilah yang kemudian
menyiarkan tentang nama harum dari Syekh Yusuf pada tahun Pengikut-pengikut
beliau sangat terkesan dan senantiasa terbenam dalam pengaruh Syekh Yusuf.
Karena itu, ketika mereka berada di Makassar, mereka terus memberitakan prihal
tentang diri Syekh Yusuf. Mereka memberitakan Syekh Yusuf sebagai seorang ulama
suci dan seorang yang sakti dan memiliki pengaruh yang luas serta tokoh
penentang VOC yang sangat gigih yang mengakibatkan beliau diasingkan ke Sailon.
Justru ketika beliau berada di pengasingannya di Sailon, muncul gagasan untuk
mengembalikan beliau ke tanah kelahirannya untuk dijadikan sebagai tokoh
pemersatu di Butta Gowa. Gagasan itu tidak sempat terealisasikan sebab
Pemerintah VOC- Belanda di Batavia tidak menyetujuinya. Mereka mencurigai
adanya tujuan terselubung di balik permohonan pengembalian itu, untuk mengusir
kedudukannya di daerah. Justru penolakan gagasan itu akhirnya merupakan salah
satu sebab munculnya pemujaan beliau di tanah kelahirannya, yaitu Tanah
Makassar.[ki]