Di antara jejak-jejak sejarah Makassar, Pannampu adalah satu saksi bisu yang telah melewati berbagai babak perubahan. Bersama Saumata, Parangloe, dan Moncongloe, Pannampu pernah menjadi gallarang—sebuah wilayah kecil yang berdaulat dalam Kerajaan Tallo. Didirikan oleh Karaeng Loe ri Sero sekitar tahun 1460 (Cumming, 2007), Pannampu kala itu bukan sekadar perkampungan, melainkan pusat kehidupan yang memiliki kedaulatannya sendiri.
Namun, sejarah selalu bergerak dinamis. Sekitar tahun 1530, Raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi, yang lebih dikenal sebagai Tumapa’risi Kallona, menaklukkan Tallo dan merangkul gallarang Pannampu ke dalam kekuasaannya. Tallo, yang kini telah menjadi bagian dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, berkembang sebagai pusat maritim terbesar di Nusantara bagian timur pada abad ke-16 hingga 17 Masehi. Menariknya, dalam kronik Kerajaan Tallo, tercatat bahwa seorang putri dari Pannampu, I Tobo Lo’mo’ ri Pannampu, menjadi permaisuri Karaeng Matoaya (1593–1636), penguasa Tallo yang juga menjabat sebagai Tumabicarabutta (patih) Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin.
Dari Tanah Perdikan hingga Perubahan Besar
Perubahan besar datang setelah Perang Makassar (1667-1669). Perjanjian Bungaya menjadi penanda runtuhnya dominasi Gowa-Tallo, dan VOC menghadiahkan wilayah Bontoala—termasuk Pannampu—kepada Arung Palakka, Raja Bone yang menjadi sekutu Belanda. Pada masa ini, Bontoala membentang luas dari Pannampu hingga Mamajang, menjadi hunian bagi prajurit Bone yang menetap di Makassar. Kampung-kampung baru pun bermunculan, seperti Lariangbangngi, Maccini, Maradekaya, Ga’dong, Baraya, dan Pattunuang, mencerminkan bagaimana migrasi dan dinamika sosial membentuk lanskap wilayah ini.
Hingga abad ke-19, Bontoala tetap menjadi tempat tinggal bagi para raja Bone. Namun, kekuasaan ini meredup seiring dengan perlawanan Raja Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895-1905), terhadap kolonial Belanda dalam Perang Rumpa’na Bone (1905). Perang ini menandai berakhirnya persekutuan Bone dengan pemerintah kolonial yang telah bertahan lebih dari dua abad.
Dari Rawa ke Permukiman Padat
Di era Indonesia modern, Pannampu bertransformasi menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Pada awal 1980-an, ketika keluarga kami mulai bermukim di area pasar, Pannampu masih dipenuhi rawa dan memiliki populasi yang relatif jarang. Wilayah utara didominasi tambak ikan dan pacce’lang (penggaraman tradisional) yang membentang hingga ke Gusung dan Paotere, berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Di sisi timur, Pekuburan Umum Beroanging menjadi tempat peristirahatan terakhir banyak tokoh, termasuk korban kapal Tampomas II yang tenggelam di Masalembo pada tahun 1981.
Namun, semuanya berubah ketika rawa-rawa itu mulai direklamasi. Pemerintah mengubah Danau Pannampu menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah kota pada akhir 1980-an. Kawasan yang dulunya asri dan berair jernih, perlahan berubah menjadi gunungan sampah. Para pemulung atau payabo berbondong-bondong datang, membangun hunian semi permanen di sekitar area pembuangan.
Selama kurang lebih lima tahun, Pannampu menjadi wajah kelam kota: kotor, kumuh, dan penuh penyakit. Namun, waktu terus berjalan. Sampah yang bertumpuk membentuk lapisan tanah keras, dan lambat laun kawasan ini kembali dihuni. Kini, bekas danau yang pernah menjadi pusat permasalahan lingkungan itu telah menjelma menjadi kawasan permukiman padat. Rumah-rumah permanen berdiri di atas tanah yang dulunya adalah gunungan sampah.
Pannampu Hari Ini: Sebuah Renungan Sejarah
Pannampu, yang dahulu bagian dari kerajaan maritim Gowa-Tallo, kini menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang sejarah Makassar. Dari gallarang yang berdaulat, menjadi tanah perdikan Bone, lalu berubah menjadi kawasan rawa dan akhirnya menjadi pemukiman padat, setiap babak sejarahnya menyimpan kisah yang tak boleh dilupakan.
Jejak masa lalu Pannampu adalah cerminan bagaimana perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan membentuk lanskap kota. Namun, satu pertanyaan tetap menggantung: apakah kita telah belajar dari sejarahnya? Ataukah kita hanya melihat Pannampu sebagai lembaran yang telah berlalu, tanpa menyadari bahwa setiap warisan peradaban masih hidup dalam cerita orang-orang yang masih menyebut tempat ini sebagai rumah?