Berulang kali kisah "tragedi politik" ini muncul dan tenggelam, mencari jati dirinya dalam sejarah kelam di tanah Wilwatikta. Peristiwa Pasundan Bubat tetap menjadi luka yang belum sembuh, mungkin sampai kesadaran politik semua pihak cukup matang untuk memahaminya secara lebih objektif.
Beberapa tahun lalu, ada upaya rekonsiliasi dalam bentuk "Deklarasi Damai di Bandung" antara keturunan Majapahit dan Pasundan, yang kemudian kembali diulang di Trowulan pada 11 November 2012. Namun, deklarasi ini justru menuai kontroversi karena dihadiri oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai Raja Pasundan dan Raja Majapahit tanpa kejelasan legitimasi. Jika niatnya tulus, tentu ini adalah hal yang baik. Namun, jika hanya dijadikan alat untuk menaikkan popularitas pribadi dengan memanfaatkan luka sejarah, tindakan tersebut jelas pantas dipertanyakan.
Dalam catatan sejarah, Pasundan Bubat sering kali menempatkan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Namun, bagi mereka yang memahami lebih dalam atau menerima kisah ini secara turun-temurun, jawabannya tidak sesederhana itu.
Seorang pemimpin sehebat Gajah Mada, yang memiliki loyalitas tinggi kepada rajanya, tidak akan bertindak tanpa perhitungan matang—terlebih karena insiden ini terjadi di dekat ibu kota Wilwatikta, di bawah pengawasan Nawaprabhu (Sembilan Raja Penentu Kebijakan). Secara logis, tindakan di Bubat tidak mungkin hanya keputusan individu, tetapi melibatkan persetujuan dari beberapa penguasa Majapahit.
Pernikahan yang Berubah Menjadi Konflik
Menurut berbagai sumber, awalnya pernikahan ini disambut baik. Namun, ketegangan mulai muncul ketika utusan dari pihak Pasundan menyerahkan surat berisi lima tuntutan kepada Gajah Mada, yang harus disampaikan kepada Raja Hayam Wuruk.
- Dyah Pitaloka harus diangkat sebagai permaisuri utama.
- Hayam Wuruk tidak boleh menikah dengan perempuan lain selain Dyah Pitaloka.
- Anak keturunan hasil pernikahan ini harus menjadi pewaris sah takhta Majapahit. Jika tidak memiliki keturunan, maka pengganti raja harus disetujui oleh kerajaan Pasundan.
- Kerajaan Pasundan tidak boleh menjadi bawahan Majapahit dan harus memiliki kedudukan yang setara.
- Rani Kahuripan, Sri Tribhuwanatunggadewi, harus datang menjemput Dyah Pitaloka dan menandatangani perjanjian di tenda kerajaan Pasundan di lapangan Bubat.
Permintaan tersebut membuat Gajah Mada terkejut, apalagi waktu yang diberikan sangat mendesak. Ia segera membawa surat tersebut kepada Bhre Kahuripan, ibunda Hayam Wuruk, untuk dimintai keputusan.
Reaksi sang Rani sangat keras. Wajahnya memerah, bukan karena permintaan itu semata, tetapi karena tuntutan tersebut dianggap terlalu berat dan berpotensi membahayakan stabilitas Majapahit. Ia merasa ini adalah upaya menjerat Majapahit dalam ikatan pernikahan yang justru melemahkan kedudukan kerajaan. Terlebih, Majapahit sudah memiliki aturan bahwa penerus takhta harus berasal dari garis keturunan Rajasa, dan Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan sepupunya, Dyah Wiyat Rajadewi.
Dari lima tuntutan itu, tiga yang pertama sudah bertentangan dengan aturan kerajaan, tetapi poin kelima dianggap sebagai penghinaan langsung terhadap keluarga kerajaan. Pasalnya, meminta Sri Tribhuwanatunggadewi datang menandatangani perjanjian berarti menempatkannya dalam posisi yang direndahkan. Apalagi, Rani Kahuripan dikenal sebagai penguasa yang tangguh dan penakluk Nusantara, yang turun langsung ke medan perang dalam berbagai pemberontakan.
Sadar bahwa situasi menjadi semakin tegang, Rani Kahuripan mengenakan busana perang, bukan busana pesta. Ini menandakan bahwa ia telah mengambil keputusan tegas. Gajah Mada, yang memahami maksud sang Rani, segera menyusun langkah untuk mengamankan situasi.
Pertempuran di Bubat: Keputusan yang Tragis
Gajah Mada kemudian menemui rombongan Pasundan di lapangan Bubat dan menyampaikan bahwa semua syarat yang diajukan telah ditolak. Reaksi Dyah Pitaloka sangat mengejutkan. Ia merasa tidak pernah mengajukan tuntutan tersebut dan justru malu atas tindakan keluarganya. Dalam kekecewaannya, ia memutuskan untuk pulang ke Pasundan dan bersumpah tidak akan menikah selamanya.
Namun, beberapa bangsawan Pasundan menolak untuk mundur. Mereka bersikeras mempertahankan tuntutan tersebut demi kehormatan kerajaan mereka. Gajah Mada, yang menyadari bahwa ini telah menjadi konflik internal keluarga, mempersilakan mereka untuk pergi dengan aman hingga ke muara Sungai Brantas.
Namun, keadaan berubah drastis ketika terdengar jeritan dari dalam tenda. Ketika Gajah Mada masuk, ia menemukan Dyah Pitaloka telah bersimbah darah, diduga bunuh diri karena merasa malu dan kecewa. Amarahnya memuncak, dan ia meminta pertanggungjawaban dari pihak Pasundan. Namun, justru ia yang dituduh sebagai penyebab tragedi ini.
Di luar tenda, suasana semakin kacau. Beberapa bangsawan Pasundan menyebarkan kabar bahwa Gajah Mada telah membunuh Dyah Pitaloka. Tetapi Mahapatih bukanlah orang yang mudah dijebak. Ia telah menyiapkan pasukan pengawal dan strategi militer sejak awal.
Dalam waktu singkat, pertempuran pecah di lapangan Bubat. Pasukan Majapahit yang lebih terlatih dengan ilmu beladiri Sundang Majapahit (yang kini diwarisi dalam bela diri Kali Majapahit di Filipina) dengan mudah mengalahkan pasukan Pasundan. Rombongan dari Pasundan yang tersisa pun dihancurkan tanpa ampun. Semua kapal yang mereka tumpangi dibakar dan ditenggelamkan.
Asap hitam dari pertempuran itu terlihat dari pendapa istana, membuat Hayam Wuruk terkejut. Ketika ia hendak bergegas menuju Bubat, ibundanya mencegahnya dan berkata, "Gajah Mada telah menyelesaikan semuanya."
Dengan penuh kebingungan, Hayam Wuruk bertanya, "Menyelesaikan bagaimana?"
Sang ibunda menjawab dengan tenang, "Mereka telah dihantar pulang ke Pasundan. Jika melawan, mereka dihancurkan."
Tragedi Bubat bukan sekadar insiden peperangan, melainkan juga permainan politik yang menyisakan luka mendalam bagi kedua belah pihak. Peristiwa ini menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah Nusantara, yang hingga kini masih menyisakan banyak perdebatan dan interpretasi.