--> Kehidupan Rakyat Jelata pada Zaman Majapahit: Antara Feodalisme dan Ketidakmakmuran | Kata Ilmu

Berita terkini mengenai info gadget, ponsel, teknologi, pendidikan, kata bijak dan ramalan zodiak terbaru 2025

Kehidupan Rakyat Jelata pada Zaman Majapahit: Antara Feodalisme dan Ketidakmakmuran

|

Majapahit, kerajaan besar yang berjaya di Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-15 Masehi, menganut sistem feodalisme yang membagi masyarakat ke dalam empat kasta utama: Brahmana (pemuka agama), Ksatria (bangsawan atau aristokrat), Waisya (pedagang), dan Sudra (pekerja kasar). Rakyat jelata dalam konteks Majapahit dapat diidentifikasi sebagai bagian dari kasta Sudra yang hidup dalam kondisi penuh keterbatasan. Di luar sistem ini, terdapat pula golongan jaba atau di luar kasta, yang mencakup candala, mleccha, dan tuccha, yang juga termasuk rakyat jelata. Sistem kasta ini menunjukkan kuatnya pengaruh budaya India dalam struktur sosial Majapahit.

Pandangan Ma Huan tentang Rakyat Jelata Majapahit

Ma Huan, seorang penjelajah dari Tiongkok, mencatat dalam Yingya Shenglan bahwa rakyat jelata Majapahit hidup dalam kondisi yang menurutnya sangat primitif. Ia menulis bahwa mereka memiliki penampilan tidak terawat, berjalan tanpa alas kaki, dan mempraktikkan kebiasaan yang dianggap tidak higienis. Mereka dikatakan hidup berdampingan dengan anjing, baik dalam makan maupun tidur, serta mengonsumsi makanan yang bagi Ma Huan tampak kotor dan tidak layak.

Makanan rakyat jelata yang disebutkan Ma Huan termasuk semut, berbagai jenis serangga, dan ulat, yang hanya dipanaskan sebentar sebelum dikonsumsi. Meskipun penilaiannya tampak merendahkan, perlu dipahami bahwa Ma Huan adalah seorang Muslim yang menilai masyarakat Majapahit melalui sudut pandang agama dan budayanya sendiri. Namun, catatannya tetap menjadi bukti antropologis bahwa rakyat jelata Majapahit memang hidup dalam kondisi yang jauh dari kemewahan kelas atas.

Tempat Tinggal Rakyat Jelata Majapahit

Bukti arkeologis di Trowulan menunjukkan bahwa rakyat jelata tinggal di pinggir jalan, yang dalam konsep Hindu disebut sebagai Bhurloka atau Nista, yakni ruang paling rendah dalam struktur sosial. Sementara itu, kaum bangsawan menempati wilayah Bhuvarloka atau Madya, sedangkan raja dan pemuka agama berada di Svarloka atau Uttama, yang merepresentasikan tempat tertinggi dalam hierarki masyarakat.

Hunian rakyat jelata yang berada di pinggir jalan membuat mereka rentan terhadap bencana seperti banjir saat musim hujan. Mereka harus menerima kondisi ini sebagai konsekuensi dari status sosial yang rendah. Sebaliknya, para bangsawan dan pemuka agama tinggal di kompleks hunian yang lebih tinggi, yang dalam konteks saat ini dapat disetarakan dengan puri di Bali.

Busana dan Identitas Sosial Rakyat Jelata

Busana rakyat jelata sangat sederhana, jauh berbeda dengan kaum aristokrat. Mereka hanya mengenakan kain jarik untuk menutupi bagian bawah tubuh dan bertelanjang dada, baik pria maupun wanita. Busana seperti ini masih ditemukan di Bali hingga abad ke-20. Sementara itu, kaum bangsawan mengenakan perhiasan serta penutup kepala khas seperti topi tekes yang mirip blangkon.

Ketimpangan Sosial dan Ketidakmakmuran Rakyat Jelata

Sistem feodalisme Majapahit memastikan bahwa hanya kelompok tertentu yang menikmati kemakmuran. Rakyat jelata tidak memiliki akses terhadap kekayaan, pendidikan, atau kemewahan seperti para bangsawan, pemuka agama, dan pedagang. Mereka juga diwajibkan untuk melayani golongan atas tanpa imbalan yang layak.

Ketidakmakmuran rakyat jelata dapat dilihat dari catatan Ma Huan serta referensi dalam Kakawin Nagarakertagama, yang menyebut bahwa mereka mengonsumsi ikan, katak, cacing, tikus, dan anjing—makanan yang dianggap tabu oleh kaum aristokrat. Pembatasan makanan ini mencerminkan adanya garis pemisah yang tegas antara kelas bawah dan kelas atas dalam masyarakat Majapahit.

Selain itu, rakyat jelata tidak memiliki akses terhadap perhiasan, yang pada masa itu menjadi simbol kemakmuran. Sosok kaya dalam budaya Hindu-Buddha sering diidentikkan dengan Dewa Kuwera, yang dihiasi oleh banyak perhiasan. Jika rakyat jelata hidup makmur, mereka seharusnya mampu mengenakan busana yang lebih mewah seperti kaum aristokrat.

Rakyat Jelata Kini Lebih Sejahtera

Dibandingkan dengan zaman Majapahit, rakyat jelata di Indonesia saat ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sistem sosial yang lebih terbuka memungkinkan individu dari berbagai latar belakang untuk memperoleh pendidikan, bekerja, dan mencapai kemakmuran tanpa harus tunduk pada sistem feodalisme yang kaku.

Meskipun catatan sejarah menunjukkan bahwa rakyat jelata Majapahit hidup dalam kondisi yang sulit, warisan budaya dari masa itu tetap menjadi bagian penting dari identitas Indonesia saat ini. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat lebih menghargai perjuangan sosial dalam mencapai kehidupan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua lapisan masyarakat.

Related Posts