Sejarah Lumajang - Sejarah Lumajang kemungkinan mulai tercatat pada abad ke-12, ketika Lumajang telah dianggap sebagai tempat yang cukup penting semenjak tahun 1182 M. Dalam sejarahnya, kepercayaan terhadap gunung suci yaitu Mahameru sangat mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini, karena masyarakat pemukim sangat menghormati gunung suci ini sebagai tempat para roh leluhur dan juga bermukimnya para Dewa. Di Lumajang, untuk pertama kali ditemukan Prasasti yang dibuat oleh raja Kameswara dari Kediri yang melakukan "Tirta Yatra" atau perjalanan mencari air suci ke puncak gunung Semeru yang dibuktikan dengan adanya "Prasasti Ranu Kumbolo" pada tahun 1182 Masehi.
Nama Lumajang berasal dari "Lamajang" yang
diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno,
bukti-bukti petilasan dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka
menetapkan hari jadinya.
Karena Prasasti Mula Malurung di nyatakan sebagai prasasti
tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap
sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.
Prasasti Mula Malurung ini ditemukan pada tahun 1975 di
Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka tahun 1977 Saka, mempunyai 12 lempengan
tembaga . Pada lempengan VII halaman a baris 1—3 prasasti Mula Malurung
menyebutkan "Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang
pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang" yang artinya: Dia
Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana) ditetapkan menjadi juru di Lamajang
diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka pada
Prasasti tersebut setelah diadakan penelitian / penghitungan kalender kuno maka
ditemukan dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15
Desember 1255 M.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan
bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai
wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka
ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang
dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414
Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990
Dalam sejarahnya, wilayah ini sangat berhubungan dengan
tokoh bernama Arya Wiraraja yang kemudian menjadi raja besar di lamajang Tigang
Juru. Menurut Babad Pararaton, nama kecilnya adalah Banyak Wide, yang secara
etimologis yaitu, "Banyak" adalah biasanya adalah nama yang disandang
kaum Brahmana, sedangkan "Wide" yang berarti "Widya" yang
berarti pengetahuan. jadi nama banyak wide sendiri berarti brahmana yang punya
banyak pengatahuan atau cerdik. Hal ini kemudian sesuai dengan perjalanan
kariernya kemudian. Tentang kelahiran Banyak wide, Babad Pararaton menyebutkan,
beberapa keterangan yang peting. "Hana ta wongira, babatanganira buyuting
Nangka, aran Banyak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja, arupa tan kandel
denira, dinohaken, kinon Adipati ing Songenep, anger ing Madura wetan",
yang artinya: "Ada seorang hambanya (Kertanegara) merupakan keturunan
tetua di Nangka bernama Banyak Wide yang kemudian bergelar Arya Wiraraja dan
dijauhkan menjadi adipati Sumenep, Madura wetan". Dari keterangan ini,
kita dapat menilai bahwa ia dilahirkan di desa Nangka, namun daerah mana kita
belum mengetahui dengan jelas. Ada 3 versi tentang kelahiran Arya Wiraraja yang
kita kenal. Pertama, versi dari penulis Sumenep bahwa ia dilahirkan di desa
Karang Nangkan Kecamatan Ruberu Kabupaten sumenep. Kedua, versi tradisional
Bali dimana menurut Babad Manik Angkeran, ia dilahirkan di Desa Besakih Kecamatan
Rendang Kabupaten Karangasem, Bali. Ketiga, menurut Mansur hidayat, seoarang
penulis sejarah Luamajang bahwa ia dilahirkan di dusun Nangkaan, Desa Ranu
Pakis, Kecamatan Klakah Kabupaten Lumajang. Hal ini berdasarkan analisisnya
dimana Pararaton tentang pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep dalam rangka
"dinohken" yang berarti "dijauhkan", sehingga ia dimungkin
bukan berasal dari Madura. Nah, kelahiran Arya Wiraraja dimungiinkan di wilayah
Lumajang karena pemindahan kerajaan dari sumenep ke Lamajang pada tahun
1292-1294 Masehi dimungkinkan sebagai seoarang politisi ulung, ia sudah
mengenal betul daerah Lamajang. Demikian pun di sekitar Dusun Nangkaan ini
terdapat sebuah situs besar yang pernah di gali tim Balai Arkeologi Yogyakarta
pada tahun 2007 dimana situs ini dimungkinkan adalah pemukiman dengan komplek
peribadatannya. Tentang kelahirannya tokoh ini diperkirakan lahir pada tahun
1232 Masehi karena dalam babad Pararaton menyatakan ia ketika mterjadi ekpedisi
Pamalayu, ia berusia sekitar 43 tahun dan menjadi Adipati Sumenep di usia 37
tahun. Dalam perjalanan politik selanjutnya, nama Banyak wide atau arya
wiraraja lebih mencuat dalam sejarah politik di kerajaan Singhasari
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya
melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja
memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa
menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian
Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar
kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu
Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik' menjadi sebuah desa
bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa
Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa
Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini,
kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang
mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden
wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan
menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri
Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu
Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang
dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji
putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati
Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para
putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan
permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemputri putri Jawa
tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang
dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali
terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata,
tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya.
Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung
Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit.
Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan
yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut
Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada
10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang
wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan,
dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan
Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam
dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang
Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan
atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini
kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur,
dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang
bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya
Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda
sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293-
1316 Masehi. Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang
penerusnya yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang
Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di
Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka
"Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara
Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan
angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat
kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang
kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada
tahun 1331 masehi.
Ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah
Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon
(Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya
perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang
Paregreg" pada tahun 1401-1406 Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang
kembali bergolak ketika Babad Tanah Jawi menceritakan Sultan Agung merebut
benteng Renong (dalam hal ini Arnon atau Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani
sekitar tahun 1617 Masehi. Kemudian ketika anak-anak Untung Suropati terdesak
dari Pasuruan, sekali perlawanan dialihkan dari kawasan Arnon atau Situs Biting
Lumajang.
Sejak tahun 1882 Lumajang masih merupakan Distrik (
setingkat Kecamatan ) yang dipimpin oleh seorang Wedono, kemudian tahun 1886
status sistem Pemerintahannya dinaikkan statusnya menjadi daerah Afdeeling (
setingkat Kabupaten ), kapala Pemerintahannya adalah seorang Patih Afdeeling,
dan tahun 1929 sistem Pemerintahan di Lumajang dinaikkan lagi statusnya menjadi
Kabupaten, kepala pemerintahannya adalah seorang Bupati.
Satu catatan, ternyata nama besar Arya Wiraraja dan Maha
Patih Nambi tidak pernah di munculkan di Kabaupaten Lumajang. Sampai sekarang,
belum ada nama Arya Wiraraja dan Maha Patih Nambi sebagai nama jalan dan nama
gedung di kota ini
Kabupaten Lumajang dikenal mempunyai banyak peninggalan
bersejarah yang luar biasa banyak, dimana hampir semua wilayah Kecamatan
mempunyai situs-situs yang bersejarah misalnya di Situs Biting, Situs Pra
Sejarah di Kandangan (Kecamatan Senduro), Situs Watu Lumpang di Dusun Watu
Lumpang, Kecamatan Gucialit, Candi Agung di Kecamatan Randu Agung, Situs Tegal
Randu di Kecamatan Klakah, Situs Candi Gedong Putri di desa Klopo Sawit
Kecamatan Candi Puro. Situs-situs ini sampai sekarang masih berserakan dan
meminta perhartian lebih intens karena ancaman alaman dan ulah tangan manusia.
Situs Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di
desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini
diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas
kawasan seluas sekitar 135 hektaree. Bangunan yang paling mengesankan adalah
bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan
tinggi 10 meter. Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan
Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh
benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs
Biting memiliki luas 135 hektare yang mencakup 6 blok/area merupakan blok
keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2
ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama,
kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong
dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik
dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada
kosakata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang
dikelilingi oleh benteng yang kokoh Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting
mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan
Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai
Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga
penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar
kawasan ini rusak oleh pembangunan ini. Advokasi Pelestarian oleh Masyarakat
Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) Pada tahun 2010 berdasarkan
lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan
Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah
itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini
dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan
peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya. Advokasi yang dilakukan oleh para
pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang
telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar
Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa
Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni. Pelestarian
Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan
pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu
melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.