Kehidupan Keagamaan Masyarakat
Sunda Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang
India, masyarakat Sunda kuno mulai terpengaruh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.
Penemuan sejumlah arca-batu bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat sangat
sederhana) menandakan bahwa mereka—terutama kaum bangsawan—memercayai dan
mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu-Buddha. Meski jarang sekali ditemukan candi
yang bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda Kuno—terutama
keluarga raja—menganut agama-agama dari India itu, yang kemudian dipadukan
dengan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu Sunda Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan
Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar yang sangat kental warna Hindu
maupun Buddha. Gelar “dewawarman” yang berarti “baju perisai dewa”, tentu
mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain karena pendiri Salakanagara berasal
dari negeri India. Mereka begitu memuja dewa-dewa Hindu seperti Surya, Wisnu,
dan Siwa.
Kehidupan agama masyarakat Sunda
kuno dapat dilihat dari, misalnya, naskah Sanghyang Sisksakandang Karesian
(disebut pula Kropak 603) yang ditulis pada 1518 atau Carita Parahyangan yang
ditulis pada 1580 M. Berdasarkan naskah tersebut, terang sekali bahwa agama
orang Sunda terdiri atas tiga kepercayaan utama, yaitu tradisi Sunda Wiwitan
(Sunda asli) yang begitu memuja leluhur (hyang), Buddhisme, dan Hindu. Oleh
masyarakat Sunda, kepercayaan Buddha dan Hindu tersebut dipadukan yang
cenderung lebih mengarah kepada Buddhaisme. Perpaduan kedua agama ini dapat
dilihat dari doa (semacam “syahadat”) mereka yang diucapkan ketika upacara
keagamaan berlangsung. Doa tersebut berbunyi: “Hong kara nomo Sewaya, sembah
ing hulun di Sanghyang Panca Tatagata”, yang artinya: “Ya Tuhan, segala
perbuatan demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.” Jelas
sekali corak sikretisme dalam doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5 atau Dyani
Buddha adalah posisi Buddha dalam bersemadi yang mengacu kepada arah mata
angin, yakni :
- amogasiddha (utara);
- akshobya (timur);
- ratnasambhawa (selatan);
- amithabba (barat);
- wairocana (pusat/zenit).
Sementara itu, dalam Hindu pun
terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat atau Lokapala. Akan tetapi, para dewa
tersebut tidak dianggap tuhan melainkan tunduk kepada Hyang (dewata bakti di
Hyang). Maka dari itu dikatakan, “Sing para dewata kabeh pada bakti ke Batara
Seda Niskala” (Semua dewa tunduk kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima
dewa tersebut adalah :
- Wisnu (utara);
- Isora/Iswara (timur);
- Mahadewa (selatan);
- Bratha (barat);
- Siwa (tengah).
Agama Buddha yang berkembang di
Jawa Barat (dan juga di kerajaan-kerajaan kuno lainnya di Nusantara) adalah
Buddha Mahayana. Pada abad ke-7, Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi Buddha
Mahayana di sekitar Asia Timur-Tenggara. Mahzab Mahayana ini menitikberatkan
kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa
(nirvana), berbeda dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat individualistis
dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan
Thailand; namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sebaliknya,
aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh oleh Hinduisme, yang mengakibatkan
makin menjauhnya ajarannya dari ajaran Siddharta Gautama sendiri.
Dalam Buddha Mahayana akhirnya
mengenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga dalam artian tempat,
bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut disembah.
Penyelewangan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari semangat
Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha aslinya tak mengenal adanya tuhan, tak
mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di
India sendiri ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia
Timur dan Tenggara.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut
oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para raja-raja, Pasundan adalah aliran
Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di
beberapa tempat di Jawa Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat
gelar raja-raja Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang
Harisdarma, Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang
memakai gelar kewisnuan (Harisdarma, Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara
Wisnu sendiri adalah dewa yang memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran
yang disebabkan oleh Dewa Siwa.
Dalam melaksanakan upacara/ritual
keagamaan, masyarakat Sunda mempergunakan bangunan atau tempat yang telah ada,
seperti punden berundak-undak atau babalayan, menhir, atau bangunan peninggalan
budaya prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar Sunda. Maka
dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah atau pun
tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan di Jawa Tengah
dan Timur. Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda adalah masyarakat peladang
yang hidupnya cenderung nomaden, berpindah-pindah tempat. Sebagai komunitas
nomaden, mereka merasa tak perlu membangun tempat-tempat suci (candi atau
wihara) karena akan memakan waktu yang lama. Lagi pula, mereka akan selalu
berpindah tempat lagi untuk menemukan lahan baru guna dijadikan tempat
berladang mereka yang baru. Bagi masyarakat Sunda kuno, bangunan megalitik
itulah “candi” mereka. Maka dari itu, gaya hidup orang Sunda yang hidup di
dataran tinggi dan bertradisi ladang, berbeda dengan orang Jawa yang memiliki
tradisi sawah yang gaya hidupnya cenderung menetap.
Perpaduan unsur Buddha dengan
Hindu rupanya menghasilkan “agama” baru, yakni Tantrayana, yang juga dianut
oleh sebagian masyarakat Sunda, terutama kalangan atas yang status sosialnya
tinggi. Mahzab Tantrayana (pengikutnya disebut Tantris) terdapat dalam
Buddhisme maupun Hinduisme. Sekte ini lahir di India pada tahun 600 Saka, dan
lima puluh tahun kemudian menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga
Indonesia (Jawa dan Sumatera). Tantra sendiri artinya adalah intisari, esensi,
atau asal.
Dalam kepercayaan Tantrayana ini
mengenal adanya laku meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi
penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain
yang bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni
berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari.
Alat tersebut—bisa dibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau
batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan dari rangkaian siklus
(lingkaran) kelahiran kembali.
Penggunaan mandala/yantra ini
biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (seperti tasbih atau rosario) oleh
tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan. Di Jawa Barat, para
penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Di Sriwijaya, aliran ini lebih
dulu berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya Prasasti Talang Tuo dan Kota
Kapur yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam
Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan
bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara ini merupakan
salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap
sebagai istri (syakti) pada Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai
syahwat merupakan musuh terbesar manusia. Sementara itu, pada masa Raja Sindhok
di Jawa Timur abad ke-10 telah disusun sebuah kitab yang menguraikan paham
Tantra, yakni Sanghyang Kamahayanikan.
Di Sunda sendiri, diketahui
sejumlah raja penganut Tantra di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra
(ayah Prabu Suryakancana, raja terakhir Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak
(Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah dan kutukan “mengerikan” yang menyerukan
supaya orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada
kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya.
Selain kutukan-sumpah, Tantrayana
mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra,
dan samadi. Dalam Tantrayana Hindu, kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita dan
akhirnya dianggap sebagai istri Siwa sendiri. Munculnya unsur wanita ini
mengakibatkan lahirnya kegiatan “hubungan intim” yang dianggap “suci” dan
membawa manusia kepada “kebebasan jiwa” dalam upacara Tantrayana. Begitu pula
dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi
Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta
beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam
Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya.
Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan minuman
keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat
“peleburan” diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu mengutamakan
makanan-makanan lezat dan mewah, yang jelas bertentangan dengan ajaran Buddha
murni yang mengharamkan minuman keras dan hidup berfoya-foya.
Kemerosotan akhlak dan moral di
kalangan istana dengan adanya praktik Tantrayana ini kelak mempercepat
penyebaran Islam di dalam masyarakat Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam
Buddha sendiri tak dikenal pengkastaan.
Seperti telah dikupas sedikit,
bahwa pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi
(roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini
senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama
Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama
lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh
kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering
menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum
brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan
tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga
(kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang
(1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan
atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di
tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam
membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya
Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di
dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya
agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung.
Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang
non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh
kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia.
Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis
dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja
memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar
dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan
terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda
Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang
dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya
terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga
memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga
orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah
almarhum (suwargi).
“Tetaplah mengikuti orangtua,
melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba
tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama
warisan dari para almarhum.”
Carita Parahyangan pun
membeberkan, bahwa bila seseorang meninggalkan ajaran leluhur niscaya akan
dihinggapi kesusahan dan penyakit batin. Sebaliknya, orang yang memelihara
ajaran nenek moyang pasti akan senang lahir-batin.[ki]