BAGIAN IV KONDISI KRISTENISASI DI PARIGI
Strategi Kristenisasi
di Parigi
Kegiatan Zending ini mulai melancarkan usaha kristenisasi
dengan berbagai strategi, diantaranya di bidang pendidikan, pelayanan
kesehatan, pemberian sumbangan ekonomi serta lewat jalur perkawinan dengan
wanita setempat. Strategi di bidang pendidikan dilaksanakan dengan membangun
lembaga sekolah bagi penduduk setempat, karena kenyataannnya penduduk di Parigi
dan Sekitarnya masih sebagian besar buta aksara Latin. Kongkritnya penginjil
ini membangun Sekolah kecil di kampung Longka pada tahun 1935 yang pada awal
dibukanya telah tercatat 15 orang murid. Kemudian pada bulan Agustus 1965
dibangun Sekolah Dasar Kristen (SDK) di kampung Laloasa, Sicini. SDK Sicini
sedikit banyak menjadi alat kristenisasi yang cukup berhasil, namun tak dapat
dipungkiri bahwa SDK Sicini sempat menjadi pioner dalam rangka pemberantasan
buta aksara latin di Parigi. SDK Sicini ini tetap eksis sampai saat ini (2007),
meskipun letak SDK Sicini saat ini terletak di kampung Lojong serta bangunan
permanennya sudah rata dengan tanah, dan saat ini SDK tersebut memakai ruangan
belajar di kolong rumah Panatua Jemaat Sicini. SDK Sicini sekarang ini sudah
lama resmi dibubarkan namun sampai saat ini masih beroperasi, meskipun secara
ilegal karena tidak terdaftar di kantor Cabang Dinas Kecamatam
Tinggimoncong(Parigi).
Strategi kristenisasi dengan menggunakan cara pelayanan
kesehatan adalah sebagai berikut: Adalah Tauran orang Ambon yang bekerja
sebagai juru rawat, mulai bekerja pada tanggal 1 April 1936, mereka dibantu oleh
dua orang dokter berkebangsaan Cina dan Jepang serta zending Van den Brink.
Mereka mengadakan perjalanan keliling secara teratur dan mengunjungi banyak kampung di luar Makassar diantaranya
Kampung Longka dan Kampung Lombasang di Gowa timur dan Pannara Bitowa. Di
Malino diadakan jam praktek pada hari –
hari pasaran didalam suatu ruangan bertenda di pasar, yang dikunjungi banyak
orang yang berdatangan dari segala penjuru.
Usaha kristenisasi lewat strategi pelayanan kesehatan ini
juga menghasilkan pengikut bagi agama kristen, sebab bila si orang sakit
berhasil disembuhkan mereka akan suka rela mengikuti penginjil untuk menerima
ajaran Kristen.
Pemberian bantuan ekonomi merupakan strategi selanjutnya,
bantuan ekonomi diistilahkan oleh penginjil dengan istilah diakoni ( pelayanan
kepada orang tidak mampu) yang dikepalai oleh seorang yang bergelar
Diaken/Syamas pada suatu majelis jemaat dalam lingkungan Sinode GKSS. Pemberian
bantuan diakoni juga berhasil sebab di wilayah Parigi saat itu masih miskin dan
kehidupan serba susah, penduduknya sebagain besar masih melarat. Pada strategi
ini para penginjil berhasil mengkristenkan Daeng Rodo, tokoh masyarakat yang
kala itu disegani pada penduduk Parigi, serta penduduk setempat lainnya. Sejak
bulan September 1961 dibentuklah Majelis Jemaat Sicini .
Kegiatan Diakoni ini antara lain dengan membagi-bagikan
sembako, peralatan cangkul, susu, pembangunan sarana jalan ke kampung Lojong,
pembangunan Sarana Air bersih oleh Yayasan Mateppe pada bulan April 2006 di
kampung Siriya Sicini.
Strategi selanjutnya adalah melalui jalur perkawinan. Para
penginjil atau Zending ini mengawini wanita setempat. Strategi inipun cukup
ampuh sebab secara langsung penginjil
ini memiliki hubungankhusus dengan masyarakat setempat, khususnya keluarga si
wanita yang dikawini. Wanita dan keluarganya praktis masuk Kristen. Dan kadar
kekristenan keluarga baru para penginjil/Zending ini agaknya lebih kuat
dibanding dengan kristen yang dihasilkan dengan strategi lainnya. Beberapa
penginjil yang kawin dengan wanita setempat yakni Tuan Bade dan A.L.S.
Makatonan yang kawin dengan wanita asal Malakaji ( Gowa Selatan ), Pengantar
Jemaat Sicini Pendeta Marianus yang Kawin dengan bekas pembantu rumah
tangganya, Erni wanita asal Sicini Serta Panetua Djemaat Sicini Demianus yang
kawin dengan Agustina putri dari tokoh kristen pribumi Daeng Subu. Dari hasil
perkawinan ini lahir keluarga – keluarga Kristen yang taat.
Penerimaan Kristen
Oleh Pribumi
Setelah Zending atau penginjil mengusahakan kristenisasi dengan berbagai cara, mereka
kemudian berhasil mengkristenkan beberapa tokoh pribumi Parigi. Menurut Daeng
Subu, tokoh Kristen pribumi sampai saat ini, mengatakan bahwa ayahnyalah yang
pertama kali penduduk pribumi yang dibaptis oleh Tuan Bade dan Tuan Rundu.
Secara lengkap Daeng Subu. mengatakan bahwa: Anjo paling rioloa nijene antama
ri karistenanga rinni ri parasangangnga iamin jo manggeku, nikua Daeng Rodo.
Siwattunna rungka biasa tongi manggeku naung rikotayya. Narikotayya minjo sere
wattu na sigappa panginjilika ni kua I Tuang Bade na I Tuang Rundu. Nalanre
sangnging assegappanaminjo manggeku siagang panginjilika biasa tommi
accari-carita agama, na anne panginjilaka nanipassiissengmi mae ri agamana
Karaeng Isa, tena siapa sallona, Manggeku natama tojengmi Agamana Karaeng Isa.
Mangeko kalebakangna naerangmi mae riparasangang panginjilika. [ yang paling
dulu dibaptis untuk masuk Kristen di kampong ini ( Parigi) yaitu ayahku, yang
bernama Daeng Rodo. Sewaktu masih berusia muda ia biasa turun kekota (
Sungguminasa/Makassar). Pada satu waktu dikota itulah ia bertemu dengan
penginjil yang bernama Tuan Bade dan Tuan Rundu. Karena seringnya bertemu
mereka kemudian akrab, kemudian ia diperkenalkan dengan agama Yesus, tdak
beberapa lama ayahku masuk agama Yesus. Akhirya ayahku mengajak ke kampung
penginjil].
Tuan Bade dan Tuan Rundu adalah penginjil dar CMA ( The
Cristian and Missionary Aliance ), setelah meletus perang Dunia II, maka
imbasnya sampai ke Parigi dan sekitarnya, hal itu berdampak kepada usaha
kristenisasi yang sempat terhenti akibat perang.
Pada tahun 1950-an daerah yang terletak di tepi selatan
sungai Jeneberang ini diketahui masih ada sejumlah orang yang telah di baptis
oleh CMA sebelum perang. Walaupun sehabis perang banyak orang yang telah dibaptis tak berani
menyatakan kekristenan mereka secara terang – terangan. Karena waktu itu agama
Kristen di identikkan dengan agama bangsa Belanda bangsa yang telah membuat
bangsa Indonesia berada dikubangan penjajahan kolonial Belanda. Sehingga
kelompok pejuang yang mayoritas beragama
Islam mengejar-ngejar orang-orang yang beragama Kristen.
Adalah Daeng Rodo yang sempat dibaptis oleh penginjil CMA,
ia merupakan tokoh masyarakat yang disegani
oleh masyarakat setempat di Parigi.
Pada tahu 1950 diusahakan kembali jalan agar Daeng Rodo ikut ambil
bagian dalam kristenisasi di daerahnya. Usaha – usaha Barnabas Doinga seorang
penginjil asal Malili ( Luwu ). Berhasil menemui Daeng Rodo, yang kemudian
meneguhkan kembali iman kekristenannya, bahkan berhasil membaptis keluarga
Daeng Rodo, diantaranya Daeng Subu serta beberapa tokoh pribumi lainya antara
lain Daeng Tangka, Daeng Pulo, Daeng Maka, Daeng Rabu, Daeng Dao dan Daeng
Siedi. Mereka inilah penduduk Pribumi yang merupakan penganut Kristen awal ,
dengan demikian di Sicini ( pusat kristenisasi di Parigi ) membuat jejak awal
perkembangan Kristenisasi selanjutnya.
Salah satu yang menarik disini, yakni peyerapan nilai-nilai
kekristenan yang dianut oleh warga pribumi Parigi, karena mereka membumikan
ajaran Kristen dengan budaya setempat. Adalah tokoh Kristen Pribumi yang
bernama Daeng Subu menjelaskan bahwa mereka (warga Kristen pribumi) percaya
kepada Karaeng Allah Ta Ala (Tuhan Bapa di
Surga) dan Karaeng Isa (Tuhan Yesus Kristus). Disamping itu warga
Kristen pribumi ini juga melaksanakan upacara Assuna’ (berhitan). Daeng Subu
sempat menjelaskan bahwa dalam pengertiannya upacara assuna’ sebenarnya bukan
hanya untuk kalangan Islam saja, melainkan ini ajaran dan budaya leluhur atau
Patuntung. Daeng Subu pun panjang lebar
mengatakan bahwa ajaran Karisteng (Kristen) sama halnya dengan ajaran-ajaran
agama lainnya yakni memumtun manusia kearah kebaikan. Agama itu menurutnya
hanyalah sebuah kendaraan yang ditumpangi untuk menuju kearah kebaikan kekal
(Surga). Dan Daeng Subu ini sudah berketetapan hati dan berkeyakinan menumpangi
kendaraan Karisteng (Kristen) sebagai keyakinannya.
Tokoh Kristen pribumi inipun fasih menjelaskan arti Surah Al
Fatiha kedalam bahasa Makassar, menunjukkan bahwa dia dahulunya bukan sekedar
Islam So’sorang, namun mempunyai pengetahuan mendalam tentang Islam dan
keislaman. Dari Daeng Subu inilah tumbuh keluarga-keluarga Kristen yang taat
yang mengikuti ajaran Karaeng Isa (Yesus Kristus) sampai sekarang. Waktu
ditelusuri ternyata Daeng Subu mengancam keluarganya, bila meninggalkan ajaran
Karaeng Isa (Yesus Kristus), maka Daeng Subu akan menghukum keluarganya dengan
hukuman khas Makassar ri paopanngi butta (dianggap sudah meninggal).
Perkembangan Kristen
di Parigi
Majelis Jemaat Sicini merupakan alah satu yang tergabung dalam
klasis Bawakaraeng dan berada dibawah naungan sinode GKSS ( Gereja Kristen di
Sulawesi Selatan). Majelis Jemaat ini didirikan pada bulan September 1961,
walaupun pada awalnya Majelis Jemaat ini masih berada dibawah pengawasan
Majelis Jemaat Malino. Majelis Jemaat Sicini pada awal pembentukannya susunan
kepemimpinannya terdiri dari:
- Ketua: Barnabas Doynga
- Wakil Ketua: Daeng Hasan
Anggota
- Daeng Rodo
- Daeng Subu
- Daeng Tangka
Barnabas Doynga sebagai ketua merupakan penginjil yang
berasal dari Malili ( Luwu ), dia adalah guru injil di Malino sejak tahun 1956,
Daeng Hasan adalah tokoh Kristen pribumi yang berasal dari kampung Pangngajian
Malino, pegawai pusat CMA Benteng Tinggia tahun 1948. guru injil Bantu di
Malino tahun 1956, pengantar Jemaat Sicini tahun 1961, dan pindah ke Klasis
Bawakaraeng pada tahun 1976. Daeng Rodo adalah tokoh Kristen Pribumi Sicini,
guru injil pada tahun 1961 – 1967, pada tahun 1967 ia kembali ke agama Islam. Daeng Subu adalah putera dari Daeng
Rodo, merupakan pengantar jemaat Sicini sejak tahun 1961 sampai sekarang ini (
2007). Dan Daeng Tangka warga pribumi Sicini juga merupakan anggota jemaat
Sicini sejak tahun 1961.
Dengan berdirinya
Majelis Jemaat Sicini di Parigi ini, maka ini sekaligus menandai titik
perkembangan kristenisasi di Parigi. Meskipun pada saat itu bersamaan dengan
maraknya gerakan Paromang ( Darul Islam / Tentara islam Indonesia - DI / TII ).
Namun gangguan dari gerakan Paromang ini meskipun intens namun tidak terlalu
mempengaruhi perkembangan kristenisasi di Parigi disebabkan karena dua hal,
pertama karena di wilayah Parigi secara resmi tidak didirikan kubu gerakan Paromang
di sana, hanya sedikit personil gerakan
ini berasal dari Parigi. Kubu gerakan Paromang ini yang terdekat dari Parigi
terletak di sebelah Barat yakni di kampung Ta’sese ( Manuju). Pimpinan gerakan
Paromang yang biasa beroperasi di sekitar Parigi bernama Kahar Muhammad Amin (
Kahar Muang ) dan Karaeng Buleng.
Salah satu gangguan yang cukup fatal dari gerakan Paromang
yakni gereja yang pertama di bangun di Parigi dibakar pada malam hari
peresmiannya tanggal 15 Oktober 1961. Meskipun demikian usaha untuk mengembangkan
kristenisasi di parigi terus dilakukan. Atas usaha para penginjil ini maka dari
segi kuantitas pengikut Kristen dari tahun – tahun awal perkembangannya terus
meningkat. Jumlah anggota baptisannya bertambah dengan pesatnya menurut
Barnabas Doynga jumlahnya 60 orang pada bulan Pebruari 1961, tahun 1962 naik
menjadi 70 jiwa, pada bulan Maret 1964 telah berjumlah 92 jiwa akhirnya pada
tahun 1967 menjadi 302 jiwa pengikut. Pertambahan secara signifikan ini
disebabkan karena banyak kaum Kristen dari Malakaji (Tompobulu) bermigrasi ke
Sicini ( Parigi ) akibat adanya pergolakan perang dan kaum kristen ini di usir
oleh anggota-anggota gerakan Paromang yang ada di wilayah tersebut. Penyebab
bertambahnya penganut Kristen pada tahun 1967, karena banyak orang Kristen
malakaji yang eksodus ke Sicini karena terjadinya perang saudara.
Setelah gereja pertama yang dibangun di Parigi tepatnya di
Sicini dibakar oleh gerakan Paromang, penganut Kristen Parigi melakukan
kebaktian di rumah-rumah mereka bergantian ataupun kalau mereka turun ke Pasar
Malino pada hari Minggu untuk berdagang ataupun berbelanja, maka mereka ini
menyempatkan diri singgah di rumah kediaman Barnabas Doynga untuk melakukan
kebaktian. Perjamuan kudus diadakan di Sicini untuk pertama kalinya pada
tanggal 16 April 1964. pada tahun itu juga anggota Majelis Jemaat Sicini yang
telah diketuai oleh Daeng Rodo, meminta izin kepemerintah setempat dalam rangka
untuk pembangunan gereja kembali, tatapi pemerintah setempat menolak permintaan
Daeng Rodo. Namun akhirnya gereja itupun dibangun pada bulan Juni 1964. gereja
ini pun berupaya sebagai pusat kristenisasi di seluruh wilayah Parigi dan
sekitarnya. Untuk mencapai tujuan itu dimulailah dengan bantuan GMKI ( Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia ) beberapa proyek penarik kristenisasi seperti
pelayanan kesehatan, dan mendirikan perkebunan untuk seluruh penduduk.
Puncak perkembangan kristenisasi di Parigi semasa Tuan
Panrita Abu ( Sahabu Daeng Maingak ) menjadi pengantar jemaat Sicini antara
tahun 1968 sampai tahun 1973. dengan gencarnya ia membagi-bagikan Beras Gandum,
Kaeng Robe’ dan kebutuhan pokok lainnya kepada penduduk yang belum menerima
Kristen sebagai imannya. Akibat dari aksi bujukan dengan iming – iming ekonomi
ini maka banyak penduduk Parigi yang sempat terbujuk dan akhirnya menerima
Kristen sebagai imannya, kurang lebih 100 jiwa pada waktu itu penduduk Parigi
masuk Kristen. Sebelumnya: Bagian Keempat, Selanjutnya: Bagian Keenam